kirimanpublik
Begitu usai jajan di warung nasi kucing, Gus Munif kembali ke tukang tambal ban. "Gus,,ternyata tidak hanya soal ban bocor kena paku tadi, tetapi juga habis bensinnya, sekalian saya isi biar sampai ke Girikusumo, semuanya habis lima belas ribu,,,,". Uang dibayarkan, dan Gus Munif meluncur ke pedukuhan Girikusumo. Sepanjang perjalanan pulang yang ditempuh dengan becek sebagaimana berangkatnya tadi, dan sekit-sedikit berhenti karena harus menyingkirkan "gedibal" lumpur, Gus Munif pada satu sisi tersenyum, pada sisi lain menangis. Tersenyum karena Gus Munif merasa ditegur Gusti Allah karena ada kesalahan di dalam hatinya secara langsung, dimana sejak awal berangkatnya itu pamrih amplop sebagai obsesi. Menangis karena di hatinya sempat muncul "krenteg" niat pamrih seperti itu, bagi Gus Munif ini merupakan kesalahan besar, karena dalam pandangan ajaran Thariqah, hati yang sempat muncul seperti itu, musti ditangisi. Kenapa? Karena menjadi selubung keikhlasan.
Suara gemuruh para santri berwirid di Pesantren Girikusumo menjelang subuh terdengar saat Gus Munif sampai di Pesantren pinggir hutan ini, juga santri Thariqah yang sedang suluk sepuluh hari di Girikusumo, membuat hati Gus Munif habis. Dia tersungkur sujud begitu sampai di kamarnya. Gus Munif menghela nafas panjang dalam duduknya. Diam seribu bahasa, yang menggema di hati adalah gemuruh wirid itu. Dengan menyalakan rokok, dan nge-teh tawar yang disuguhkan santri, lagi-lagi Gus Munif tersenyum dan menangis. Tersenyum karena apa yang diharapkan bisa punya uang, itu hanya pepesan kosong, sebab amplop yang diterima itu dua puluh ribu, lima ribu untuk jajan nasi kucing, dan lima belas ribu untuk tambal ban dan membayar bensin. Menangis, karena betapa menyesal Gus Munif sempat terlintas di hatinya akan pamrih semacam itu. "Duh Gusti,,," gumanya di hati Gus Munif seraya ingat akan mBah Zuhri ayahnya, ingat mBah Zuberkakeknya, ingat mBah Zahid buyutnya, dan mBah Hadi canggahnya. Gus Munif ingat juga akan Gus Miek, yang menjadi idolanya saat itu, sampai saat ini, soal keikhlasan itu.
*) Cerpen ini dituturkan sendiri oleh mBah Munif saat jagong usai Maulid Dziba' di Girikusumo.
Sumber : Kiai Kampoeng
Suara gemuruh para santri berwirid di Pesantren Girikusumo menjelang subuh terdengar saat Gus Munif sampai di Pesantren pinggir hutan ini, juga santri Thariqah yang sedang suluk sepuluh hari di Girikusumo, membuat hati Gus Munif habis. Dia tersungkur sujud begitu sampai di kamarnya. Gus Munif menghela nafas panjang dalam duduknya. Diam seribu bahasa, yang menggema di hati adalah gemuruh wirid itu. Dengan menyalakan rokok, dan nge-teh tawar yang disuguhkan santri, lagi-lagi Gus Munif tersenyum dan menangis. Tersenyum karena apa yang diharapkan bisa punya uang, itu hanya pepesan kosong, sebab amplop yang diterima itu dua puluh ribu, lima ribu untuk jajan nasi kucing, dan lima belas ribu untuk tambal ban dan membayar bensin. Menangis, karena betapa menyesal Gus Munif sempat terlintas di hatinya akan pamrih semacam itu. "Duh Gusti,,," gumanya di hati Gus Munif seraya ingat akan mBah Zuhri ayahnya, ingat mBah Zuberkakeknya, ingat mBah Zahid buyutnya, dan mBah Hadi canggahnya. Gus Munif ingat juga akan Gus Miek, yang menjadi idolanya saat itu, sampai saat ini, soal keikhlasan itu.
*) Cerpen ini dituturkan sendiri oleh mBah Munif saat jagong usai Maulid Dziba' di Girikusumo.
Sumber : Kiai Kampoeng
No comments:
Post a Comment