kirimanpublik
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Lima tergugat dalam kasus gugatan terhadap Presiden RI dan 10 lembaga tingggi negara yang digugat Advokat Alexius Tantrajaya SH.M.Hum, ternyata tidak menjawab soal kompetensi absolud yang dipersoalkan dalam eksepsinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 17 September 2019.
Kelima Terggugat yang tidak menyerahkan soal kewenangan tentang kompetensi absolud itu adalah Tergugat II (DPR) dan Tergugat VII-X (Pihak Polri) dimana pada sidang sebelumnya sudah diagendakan, yaitu pembuktian awal.
Teks foto: Penggugat Alexius Tantrajaya SH.M.Hum dan Rene Putra Tantrajaya SH.LLM. |
Kelima Terggugat yang tidak menyerahkan soal kewenangan tentang kompetensi absolud itu adalah Tergugat II (DPR) dan Tergugat VII-X (Pihak Polri) dimana pada sidang sebelumnya sudah diagendakan, yaitu pembuktian awal.
Dan dalam pembuktian awal ini yang dibahas masalah kewenangan kompentensi absolud, yaitu tentang kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili perkar ini, tapi kelima tergugat tersebut tidak melakukannya. Untuk itu hakim ketua Saifudin Zuhri SH menunda sidang satu minggu untuk putusan sela, kata Rene Putra Tantrajaya SH.LLM usai sidang.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ini dilakukan oleh Advokat senior Alexius Tantrajaya tersebut karena merasa profesinya sebagai Advokat dilecehkan, lalu mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp. 1,1 miliar dan harus dibayar secara tanggung renteng dan tidak boleh dicicil oleh Pemerintah Indonesia (Presiden) dan 10 lembaga Negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dan sebagai Tergugat antara lain Pemerintah Indonesia (Presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas, Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, masingasing sebagai tergugat I sampai dengan IX.
Alexius mengatakan, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.
Para tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” Ujarnya.
Dijelaskan, secara perundangan, seharusnya para tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya.
Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para tergugat, diabaikan selama rentang waktu 10 tahun lebih, tepatnya sejak tahun 2008 silam.
“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut, yang intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung.
Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih, di mana laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius.
Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.
“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” ujar Alexius.
Menurut Alexius, kasus Maria menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum.
Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.
“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008, hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 10 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” ungkapnya.
Ditegaskan, sesuai Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hokum kliennya sedikit sekali. Yakni, tersisa setahun ke depan.
“Jika polisi belum juga memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah diperkosa,” tegas Alexius.
Advokat senior ini menyatakan, dalam konteks perkara Maria, polisi bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan, yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, denganh tuduhan Maria Magdalena menguasai warisan almarhum secara sepihak.
“Dalam waktu singkat, laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol.: LP/4774/K/XI/2007/SPK UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. Maria dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.
Setahun kemudian, lanjut Alexius, pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.
Para terlapor itu, jelasnya, pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris Rohana Frieta yang isinya disebutkan, bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di luar nikah.
Menurut dia, kliennya menilai keterangan itu palsu. Tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy William dan Cindy William. Semuanya tercatat di kartu keluarga, buku lahir dan akta kelahiran. Secara hukum tidak bisa terbantahkan.
“Bahkan, sebelumnya, almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya satu anak, Thomas Wirawardhana. Mereka menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy William,” papar Alexius.
Perlu juga diketahui, tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya hidup anaknya itu.
Jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan almarhum, maka secara hukum Thomas berhak sebagai ahli waris.
Dijelaskan, ternyata proses penanganan laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku, terkesan sengaja dibuat mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai kewibawaan penegak hukum. Yang menyedihkan lagi, keluarga almarhum Denianto Wirawardhana berhasil merampas dua unit Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.
“Yang saya sesali, sikap diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam surat permohonan perlindungan hukum.
Hasilnya tak ada. Wajar jika saya kesal, dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius mengakhiri penjelasannya. (SUR).
No comments:
Post a Comment