Prof. DR. OC Kaligis Kirim Surat Terbuka Kepada Presiden : KPK Bukan Malaikat

Notification

×
Copyright © Best Viral Premium Blogger Templates

Iklan



Prof. DR. OC Kaligis Kirim Surat Terbuka Kepada Presiden : KPK Bukan Malaikat

Wednesday, 18 September 2019, 18.9.19 WIB Last Updated 2019-09-25T04:06:58Z
kirimanpublikTuding KPK Lakukan "Abuse of Power"

Prof Dr OC Kaligis tunjukkan buku "KPK Buksn Malaikat" dan surat yang dikirim ke Presiden
JAKARTA (wartamerdeka.info)  - Sebuah surat terbuka dan satu buku berjudul "KPK Bukan Malaikat" dikirimkan pengacara kondang, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, SH, MH, dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden DR Jusuf Kalla.

"Surat terbuka dan buku karangan saya berjudul "KPK Bukan Malaikat" saya kirim kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dari Sukamiskin," kata advokat senior Otto Corneĺis Kaligis kepada wartawan di lantai II, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sembari memperlihatkan surat dan buku yang dikirim kepada Presiden dan Wakil Presiden tersebut.

Tujuan Kaligis menyurati Kepala Negara dan Wakil Presiden itu menurutnya,
supaya pimpinan tertinggi Indonesia tahu kebobrokan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Prihal surat saya saja, saya tulis, Tindakan tidak terpuji Komisioner/Pimpinan KPK Saut Situmorang," imbuh Otto Cornelis Kaligis yang akrab dipanggil OC Kaligis ini.

Pada surat tersebut OC Kaligis mengatakan kepada Presiden dan wakil Presiden bahwa dia adalah korban rekayasa OTT KPK.

Terkait dirinya sebagai praktisi, akademisi, selaku warga  negara dengan hak perdata, hak berpartisipasi dalam penegakan hukum, memberi masukan kepada Presiden tentang tindakan Saut Situmorang, pemimpin KPK, pemimpin preman, pegiat peradilan jalanan, kata OC Kaligis mengawali suratnya.

Sekedar mengingatkan, menurut pengacara senior Indonesia ini, pembentukan Undang Undang (UU) KPK Nomor 30/2012 yang sifatnya ad hoc, adalah untuk lebih meningkatkan pemberantasan korupsi, membantu penyidik polisi dan kejaksaan yang menjadi visi utama para pemimpin diera reformasi ini.

Dasar pertimbangan UU tersebut yang menjadi landasan berpijaknya adalah  Pancasila dan UU Dasar 1945. Pancasila: Vertikal berarti setiap penegak hukum diawasi oleh Tuhan Yang Maha Adil dalam tindak tanduknya. "Hanya iblis yang melawan pengawasan Tuhan, karenanya wajib ditempatkan di neraka. Horizontal: Harus menegakkan keadilan berdasarkan asas praduga tak bersalah. Tugas memberantas korupsi KPK melenceng dari tujuan semula."

"Dalam operasi tangkap tangan yang diutamakan bukan perkara korupsinya tapi kasus pribadi. Misalnya,  hubungan gelap pelaku dengan gadis gadis teman selingkuhnya," tambah Kaligis.

Dasar konstitusi: Pasal 1 (3) UU Dasar, Indonesia adalah negara hukum bukan negara othoriter. Sumpah Presiden sesuai Pasal 9 UUD: Taat kepada hukum.

Presiden pun harus diawasi. RUU KPK yang baru dengan salah satu ketentuannya: Dewan Pengawas ditentang mati matian oleh KPK dengan gerakan gerakan liar yang dilakukan oleh Saut Situmorang antara lain dengan menutup kain hitam  logo gedung KPK, bangunan yang bukan milik Saut Situmorang atau milik nenek moyangnya.

Abuse of Power oleh KPK. Tugas KPK menjaring perkara korupsi bernilai satu miliar rupiah ke atas, disimpangi. Korupsi anggota DPRD dengan jumlah 10-20 juta rupiah di OTT. Banyak jumlah suap di bawah 50 juta dijaring korupsi oleh KPK yang mestinya ditangani polisi dengan biaya operasi jauh lebih murah daripada yang digunakan KPK. Kerugian negara yang mestinya oleh BPK, diabaikan KPK. Pemeriksaan di pengadilan dengan bukti/fakta hukum yang membebaskan terdakwa, tak pernah dipertimbangkan dalam tuntutan jaksa KPK. Sebabnya? Karena KPK harus menghukum, bukan mengadili secara adil.

"Dapat dimengerti kalau rancangan UU KPK baru mengatur mengenai dapat diterbitkan SP3. Dewan Pengawas wajib karena KPK seenaknya menyadap setiap orang tanpa diketahui, kapan penyadapan itu harus dimulai. Ketika Presiden dalam Presidentiil hendak membentuk kabinetnya KPK protes melalui rapor merah calon menteri yang berhasil disadap KPK, tidak dalam rangka penyelidikan/penyidikan. Jelas ini perbuatan pidana, termasuk kejahatan jabatan sebagaimana diatur dalam bab XXVIII KUHP," tandas OC Kaligis.

Temuan Pansus DPR terhadap penyelewengan penyelewengan korupsi KPK hasil audit BPK, masukan masyarakat, temuan Brigadir Jenderal Aries Budiman Direktur Penyidikan KPK, laporan Antasari mengenai korupsi ditubuh KPK adalah bukti bahwa KPK wajib diawasi. Itu sebabnya ketika saksi diperiksa, saksi yang menurut pasal 1791/1792 berhak memberi kuasa pendampingan kepada penasihat hukum. Hak tersebut dilarang oleh KPK berdasarkan SOP KPK yang melanggar hukum.

"Mengapa? Supaya KPK bebas mengintimidasi para saksi, menjerat saksi dengan pertanyaan pertanyaan menjerat untuk kepentingan pemeriksanya sehingga perkara yang tidak cukup buktinya dapat dimajukan ke pengadilan," tamvahnya.

OC Kaligis mengungkap pula tentang tebang pilih. Menurutnya, yang mesti diadili dalam kasus pidana/korupsi adalah Komisioner Bibit Chandra Hamzah, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Novel Baswedan terdakwa penganiayaan junto pembunuhan yang sekarang dielu elukan sebagai pahlawan  dengan biaya pengobatan APBN miliaran rupiah.

Perkara mereka semua sudah P-21. Termasuk perkara korupsi Prof. Denny Indrayana. Kalau KPK bukan tebang pilih, benar benar mau menegakkan hukum sesuai sumpah pelantikannya di depan Presiden, seharusnya KPK berjuang agar mereka diadili. Bukan sebaliknya, membiarkan perkara mereka dan membully Komisioner Firli Buhari yang secara aklamasi terpilih sebagai ketua Komisioner KPK. Apalagi yang diangkat ke permukaan oleh Saut Situmorang adalah perkara kode etik, bukan dugaan/sangkaan perkara pidana.

*Saut Situmorang sendiri pernah mendapat hukuman pelanggaran kode etik. Kenapa mau jadi Komisioner KPK?" ujar OC Kaligis

KPK takut diawasi. Mengapa? Karena dalam tubuh KPK, terjadi banyak kejahatan jabatan. Banyak temuan korupsi oleh BPK. Banyak dilakukan sadapan illegal. Apalagi ketika sadapan itu diperdengarkan di persidangan, ternyata sadapan itu tidak diperdengarkan seutuhnya. Sadapan telah diedit. Bisa terjadi karena ridak ada lembaga pengawas sadapan, tandas Kaligis yang sudah berusia hampir 77 tahun tapi masih energik ini.

"Demi equality before the law, persamaan perlakuan di depan hukum, saya memohon kepada bapak Presiden, adili Novel Baswedan sesuai perintah Pengadilan Bengkulu. Adili Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Prof. Denny Indrayana, bongkar kejahatan kejahatan KPK hasil temuan Pansus DPRRI/Komisi III terhadap KPK," tandas Kaligis.

Semua mereka memproklamirkan dirinya sebagai lembaga independen tetapi di lain pihak selalu meminta perlindungan Presiden semata untuk kepentungan KPK, agar tetap bisa jadi lembaga otoriter.

"Doa saya, semoga bapak Presiden jangan mau diperalat oleh KPK hanya untuk kepentingan KPK yang sering berseberangan dengan Bapak dalam banyak hal," urai Kaligis.

"Saat ini saya buat terbuka sebagai masukan positif. Bukan dengan jalan menggerakkan manusia jalanan. Bila kita tidak setuju dengan RUU KPK, mari kita bertarung di Mahkamah Konstitusi. Bukan dengan kain hitam menutupi logo KPK di gedung KPK. Atau dengan menyatakan mengundurkan diri dengan memilih tenggang waktu berlakunya baru 16-9-2019. Kalau konsisten mengapa tidak pada hari diproklamirkannya pernyataan pengunduran diri tersebut oleh saudara Komisioner KPK, saudara Saut Situmorang."

"Bersama surat terbuka ini, saya berikan buku saya berjudul 'KPK Bukan Malaikat'. Buku ini mengungkap secara jelas, praktek praktek kotor yang terjadi dalam tubuh KPK," pungkas OC Kaligis.


Surat bertanggal 14 September 2019 tersebut tindasannya disampaikan kepada, Kapolri, Jaksa Agung, Menkum HAM, Menko Polkam, Ketua MA, Semua Media/Wartawan bukan afiliasi KPK dan semua wartawan dengan berita cover both side. (dm)
Komentar

Tampilkan

  • Prof. DR. OC Kaligis Kirim Surat Terbuka Kepada Presiden : KPK Bukan Malaikat
  • 0

No comments:

Post a Comment

Terkini

Topik Populer