kirimanpublik
Oleh : Al-Habib Ali AlJufri
Hasad, yang merupakan maksiat di antara maksiat-maksiat hati, adalah perasaan berat dalam memandang nikmat atau karunia yang ada di sisi makhluk. Engkau merasa berat bila melihat orang lain memperoleh nikmat dari Allah SWT, baik nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi. Dari mana datangnya perasaan berat semacam ini? Perasaan itu datang karena engkau sibuk untuk meraih dan mendapatkan kedudukan di antara manusia.
Apabila kedudukanmu di antara manusia adalah karena ilmu yang engkau miliki, engkau akan merasa berat bila memandang orang lain yang lebih alim dan berilmu dari dirimu, karena engkau takut orang-orang akan menolehkan pandangan mereka kepadanya, bukan kepada dirimu. Sehingga penyakit yang ada di dalam hatimu itu sampai kepada batasan bahwa engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat yang Allah berikan kepada selain dirimu. Mengapa? Karena engkau tidak menginginkan orang-orang memandang kepada orang yang mendapat karunia itu. Engkau hanya ingin agar orang-orang memandang kepadamu.
Atau, apabila kedudukan yang engkau harapkan di antara manusia adalah dengan sebab kekayaan yang engkau miliki, atau kemampuan untuk meng-goal-kan proyek-proyek yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan, engkau akan merasa berat bila di hadapanmu terdapat orang lain yang juga memiliki kemampuan seperti itu, karena engkau takut hal itu akan membuat pandangan orang-orang tertuju kepadanya, bukan kepada dirimu.
Pada ilmu, kedudukan, pangkat, jabatan, dan pada apa pun itu, penuhnya hati oleh kegelapan cinta terhadap kedudukan di sisi manusia akan melahirkan setelahnya penyakit yang ketiga ini, yakni hasad, perasaan berat melihat nikmat yang ada di sisi makhluk.
Bila kami katakan bahwa kesombongan (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepandiran, sesungguhnya hasad adalah permusuhan (mu‘adah) terhadap Allah secara terang-terangan. Naudzu billah!!!
Apakah seseorang dapat menerima bahwa dirinya menjadi musuh bagi Tuhan, Yang Maha Pemilik segala kemuliaan? Hasad adalah permusuhan terhadap Allah SWT secara terang-terangan, karena orang yang hasud seolah-olah ia menentang Allah SWT.
“Kenapa Engkau memberi si Fulan?”
Di saat engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat pada seseorang, seolah-olah engkau menentang terhadap Yang memberinya nikmat itu, Allah SWT. Inilah bahaya hasad. Engkau akan senantiasa hidup dengan kegelapan hati, yang hatimu merasa berat untuk melihat kebaikan di sisi manusia, dan menentang Allah SWT dalam memberikan karunia-Nya kepada sekalian makhluk-Nya.
Hasad memiliki beberapa macam.
Pertama, hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy). Yakni berharap hilangnya nikmat dari orang lain meskipun nikmat itu tidak diharapkan menjadi miliknya.
Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang ada di hadapannya sekalipun nikmat itu tidak akan menjadi miliknya. Misalkan, seseorang sukses dalam meng-goal-kan suatu transaksi bisnis, engkau berharap agar orang itu mendapat kerugian, sekalipun dirimu tidak dapat melakukan suatu transaksi pun.
“Atasku dan atas musuh-musuhku,” seperti yang dikatakan orang-orang.
Ini hasad Iblis. Dia merasa berat melihat kedudukan yang tinggi dari Allah SWT berada pada ayah kita, Nabi Adam AS. Hasad semacam ini kemudian membawa Iblis kepada menentang Tuhan, Yang Maha Pemilik segala kemuliaan, dengan menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu, sebagai ganti dari semestinya ia kembali dan bertaubat kepada Allah SWT serta menyesali kesalahannya, yang, bila saja dia bertaubat, niscaya Allah akan menghapuskan dosanya, karena sungguh Allah mahaluas karunia-Nya, kepada Allah justru Iblis mengancam Adam AS dan anak-cucunya. Iblis berkata, “Dia (iblis) berkata, ‘Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari Kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil." (QS Al-Isra: 62).
Apakah perbuatan Iblis terhadap anak-cucu Adam akan mengembalikan kedudukannya? Apakah dengan itu Iblis akan mendapatkan kembali kedudukan yang telah hilang darinya? Tidak!! Sekali-kali tidak akan pernah kedudukannya itu kembali kepadanya. Disebabkan karena teramat gelap dan hitam pekatnya hasad yang ada di dalam hatinya, Iblis berpaling dari seharusnya memikirkan bagaimana mendapatkan ganti dari kerugian yang dialaminya, dan bagaimana meraih kembali kedudukan yang telah hilang dari dirinya, kepada bagaimana mendatangkan madharat terhadap orang lain yang mendapatkan karunia dan kedudukan dari Allah SWT dan bagaimana melenyapkan karunia yang diraih oleh selain dirinya.
Inilah yang terburuk dan paling hina dari macam-macam hasad.
Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia berhadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.
Setelah menjelaskan hakikat hasad dan macam pertama dari macam-macam hasad, yakni hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy), pengasuh melanjutkan penjelasannya tentang macam-macam hasad selanjutnya dan bahaya darinya.
Kedua, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang berada di hadapanya dan dia berharap agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Dia berharap, si Fulan merugi dalam usahanya, agar dirinyalah yang kemudian mendapat keuntungan yang besar. Dia berharap, si Fulan jatuh kedudukannya, agar dialah yang nantinya mendapatkan dan menggantikan kedudukannya.
Seseorang yang memiliki sifat hasad semacam ini berharap hilangnya nikmat dari orang lain agar dirinya yang mendapatkannya. Sifat semacam ini adalah sifat yang buruk dan sesuatu yang dapat mengotori hati — wal-‘iyadzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dan kalian semua daripadanya. Akan tetapi sifat hasad yang kedua ini lebih rendah keburukannya dari yang sebelumnya.
Ketiga, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar dia mendapatkannya, namun, jika tidak mendapatkannya, dia tetap rela bila nikmat itu dimiliki orang lain.
Seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain yang ada di hadapannya dan mengharapkan untuk mendapatkan nikmat itu. Akan tetapi jika tidak ada jalan untuk menggapainya agar menjadi miliknya, dia merelakan nikmat itu menjadi milik orang lain tersebut.
Jenis hasad semacam ini pun buruk, akan tetapi kadar keburukannya lebih ringan dari dua macam hasad sebelumnya.
Keempat, ghibthah. Sesuatu yang tidak dinilai buruk, tapi merasakan berat terhadap nikmat yang ada pada orang lain.
“Mengapa Fulan mendapatkan ini dan itu? Akan tetapi aku tidak berharap agar si Fulan rugi. Aku hanya berharap agar aku pun mendapatkan seperti yang didapatkan oleh si Fulan.”
Inilah ghibthah. Hasad seorang mukmin adalah ghibthah. Seorang mukmin tidak hasad kepada sesamanya, tetapi ia ghibthah.
Apa makna ghibthah kepada orang lain? Maknanya, ia berharap agar mendapatkan nikmat seperti yang didapatkan orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain.
Untuk macam yang keempat ini, tidaklah mengapa dimiliki seorang mukmin. Engkau melihat seseorang memiliki suatu kebajikan, misalkan ia telah hafal Al-Qur’an. Engkau merasa berat karena engkau belum hafal, maka engkau pun berharap agar segera dapat hafal Al-Qur’an, tapi engkau tidak merasa berat terhadap saudaramu yang telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an. Perasaan berat itu selanjutnya memotivasimu untuk menghafal Al-Qur’an sehingga engkau mendapatkan apa yang ia dapatkan.
Engkau tidak berharap agar nikmat itu hilang dari saudaramu. Ini termasuk bab at-tanafus (saling berlomba). Allah SWT berfirman, "...dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba." QS. Al-Muthaffifin: 26.
Ghibthah adalah sesuatu yang terpuji, karena ini kembali kepada sifat asal manusia, yakni harapan untuk menang, harapan untuk beridentitas, dan harapan untuk maju.
Bila datang ghibthah ke dalam hatimu, tidaklah mengapa. Yang bermasalah adalah pada tiga macam yang pertama, yakni seseorang berharap hilangnya nikmat dari orang lain.
InshaAllah bersambung...
Wallahu'alam
Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa Shobihi wasalim
No comments:
Post a Comment