kirimanpublik
Pertanyaan diatas tentu terdengar aneh. Bukankah ziarah kubur Nabi itu diharamkan oleh Polisi Arab Saudi yang saat ini selalu menjaga kubur Nabi?
Kita coba ajukan pertanyaan kebalikannya, adakah ulama yang mengharamkan ziarah kubur Nabi?
Dari pertanyaan ini, paling tidak nanti kita punya gambaran; siapakah mayoritas dan siapakah minoritas.
Meskipun kadang kebenaran tak kenal mayoritas-minoritas. Paling tidak kita sedikit simpulkan; apa iya, segitu banyak ulama semuanya salah, dan yang benar hanya Polisi Arab Saudi.
::: Perbedaan pendapat Ulama :::
Imam as-Syaukani (w. 1250 H) pernah menyinggung masalah ini. Kata beliau:
وقد اختلفت فيها أقوال أهل العلم، فذهب الجمهور إلى أنها مندوبة، وذهب بعض المالكية وبعض الظاهرية إلى أنها واجبة وقالت الحنفية: إنها قريبة من الواجبات وذهب ابن تيمية الحنبلي حفيد المصنف المعروف بشيخ الإسلام إلى أنها غير مشروعة، وتبعه على ذلك بعض الحنابلة وروي ذلك عن مالك والجويني والقاضي عياض كما سيأتي
Para ulama berbeda pendapat terkait hukum ziarah kubur Nabi. Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukumnya SUNNAH. Bahkan sebagian ulama madzhab Malikiyyah dan Dzahiriyyah menyatakan hukumnya WAJIB. Ulama madzhab Hanafiyyah menyatakan bahwa hukumnya sedikit mendekati WAJIB.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) meyatakan TIDAK MASYRU’. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama Hanbali. Dan katanya diriwayatkan juga dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam al-Juwaini as-Syafi’i (w. 419 H) dan al-Qadhi Iyadh al-Maliki (w. 544 H). (Muhammad bin Ali as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 5/ 113)
Dari Pernyataan ini kita dapati bahwa hukum ziarah kubur Nabi itu:
Sunnah : Mayoritas Ulama
Wajib : Sebagian madzhab Malikiyyah dan madzhab Dzahiriyyah
Hampir Wajib : Madzhab Hanafiyyah
Tidak Disyariatkan : Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan sebagian madzhan Hanbali
Katanya tidak disyariatkan : Imam Malik (w. 179 H), Imam al-Haramain al-Juwaini as-Syafi’i (w. 419 H), al-Qadhi Iyadh al-Maliki (w. 544 H)
Dari pernyataan Imam as-Syaukani (w. 1250 H) kita dapati kesimpulan bahwa yang menyatakan tidak masyru’ adalah Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan sebagian madzhab Hanbali.
Jadi pantas ketika Polisi Arab Saudi itu melarang ziarah kubur Nabi. Ya karena mereka mengikuti fatwa dari Ibnu Taimiyyah (w. 728 H).
Bukankah ada ulama lain yang ikut mengharamkan juga selain Ibnu Taimiyyah (w. 728 H)? memang Imam as-Syaukani (w. 1250 H) ketika menyebutkan ulama lain ini, beliau menggunakan redaksi “diriwayatkan”, bukan dengan lafadz yang pasti. Kita coba pahami perkataan Imam Malik dan Imam al-Haramain dari ulama yang semadzhabnya, bukan dari ulama madzhab lain. Benarkah mereka juga menyatakan tidak masyru’, bahkan mengharamkan?
::: Pendapat Imam Malik (w. 179 H) Dikonfirmasi oleh al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) :::
Pernyataan bahwa Imam Malik (w. 179 H) melarang ziarah ke kubur Nabi malah diluruskan sendiri oleh al-Qadhi Iyadh al-Maliki (w. 544 H).
Beliau menyatakan dalam kitabnya:
والأولى عندي أن منعه وكراهة مالك له لإضافته إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم وأنه لو قال زرنا النبي لم يكرهه
Yang lebih pas menurut saya bahwa Imam Malik melarang dan tidak menyukai ziarah kubur Nabi, itu karena ditambahkan kata “kubur”. Jika saja dikatakan ziarah Nabi maka Imam Malik tidak memakruhkannya. (al-Qadhi Iyadh al-Maliki w. 544 H, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthaffa, H. 2/ 84).
Justru al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) dan Imam Malik (w. 179 H) katanya mengharamkan ziarah kubur Nabi itu tidaklah benar. Hanya beliau tak suka disebut kubur, ziarah Nabi saja tanpa ditambah kata kubur.
::: Pendapat Imam al-Juwaini (w. 419 H) Dikonfirmasi oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) :::
Bagaimana dengan Imam al-Juwaini (w. 419 H)? Memang nanti ada saja yang akan bilang, ini lho ulama madzhab syafi’i ada yang mengharamkan ziarah Nabi dan makam ulama, yaitu Imam al-Juwaini.
Katakan saja; “Tumben Imam al-Juwaini as-Syafi’i (w. 419 H) dipakai perkataannya. Biasanya disesat-sesatkan, gara-gara beraqidah Asy’ariyyah!”.
Imam Nawawi as-Syafi’i (w. 676 H) mengkonfirmasi pernyataan Imam al-Juwaini. Beliau menyebutkan:
واختلف العلماء في شد الرحال وإعمال المطي إلى غير المساجد الثلاثة كالذهاب إلى قبور الصالحين وإلى المواضع الفاضلة ونحو ذلك فقال الشيخ أبو محمد الجويني من أصحابنا هو حرام وهو الذي أشار القاضي عياض إلى اختياره
والصحيح عند أصحابنا وهو الذي اختاره إمام الحرمين والمحققون أنه لا يحرم ولا يكره
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadakan perjalanan kepada selain 3 masjid, seperti perjalanan ke kubur ulama, dan tempat-tempat utama. Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini dari kalangan madzhab Syafi’iyyah menyatakan bahwa hukumnya haram; inilah apa yang diisyaratkan oleh al-Qadhi Iyadh al-Maliki (w. 544 H).
Adapun yang shahih dalam madzhab Syafi’iyyah dan yang dipilih oleh Imam al-Haramain al-Juwaini dan ulama muhaqqiqun bahwa hal itu TIDAK HARAM DAN TIDAK MAKRUH. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi as-Syafi’i w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 9/ 106)
Pendapat dari Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 419 H) juga dikonfirmasi oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) bahwa ziarah kubur Nabi dan bahkan ziarah kubur-kubur ulama lain tidak haram dan tidak makruh.
::: Tinggal Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) dan sebagian ulama Hanbali. :::
Bagaimana Dengan Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H)? Ada yang unik tentang pendapat Ibnu Taimiyyah (w. 728 H).
Kebanyakan yang mengharam-haramkan ziarah kubur Nabi dan kubur ulama memang dari kalangan pengikutnya.
Hanya saja salah satu murid terbaik beliau; Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi al-Hanbali (w. 744 H) mempunyai kitab khusus tentang masalah ini.
Beliau menyimpulkan dari pendapat gurunya; Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) bahwa sebenarnya Ibnu Taimiyyah itu tak mengharamkan ziarah kubur Nabi dan lainnya, bahkan malah sebaliknya yaitu menganjurkannya. Berikut pernyataan beliau:
وليعلم: قبل الشروع في الكلام مع هذا المعترض أن شيخ الإسلام رحمه الله لم يحرم زيارة القبور على الوجه المشروع في شيء من كتبه، ولم ينه عنها، ولم يكرها بل استحبها، وحض عليها. ومناسكه ومصنفاته طافحة بذكر استحباب زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم وسائر القبور
Perlu diketahui sebelumnya bahwa Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tidak mengharamkan ziarah kubur-kubur, asalkan memang dengan cara yang masyru’ atau tak bertentangan dengan syariat. Itu dapat diketahui di kitab-kitab beliau. Beliau tak mengharamkan ataupun memakruhkan, bahkan beliau menyunnahkan dan menganjurkannya.
Sejarah hidup Ibnu Taimiyyah dan perbuatan beliau menunjukkan bahwa ziarah kubur Nabi itu SUNNAH, termasuk kubur-kubur yang lain. (Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi al-Hanbali w. 744 H, as-Sharim al-Mankiy fi ar-Radd ala as-Subki, h. 17).
Nah, jika Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) yang katanya menyatakan tidak masyru’, tapi kata murid beliau, yang benar adalah Ibnu Taimiyyah menyunnahkan ziarah kubur Nabi dan kubur-kubur yang lain, lantas siapakah ulama yang jadi panutan orang-orang yang mengharamkan ziarah kubur Nabi itu?
::: Kitab as-Sharim al-Mankiy Versi Maktabah Syamilah :::
Kehadiran Maktabah Syamilah adalah sebuah hal yang fenomenal dan menjadi keberkahan tersendiri. Khususnya bagi mereka yang minat baca kitabnya tinggi tapi cekak ongkos untuk beli kitab aslinya.
Bagaimana tidak, kitab yang dulu hanya diketahui namanya saja, kitab yang berjilid-jilid dan beribu halamannya, sekarang sudah bisa dinikmati dengan gratisan. Tentu bagi yang hanya punya minat koleksi saja, kehadiran Maktabah Syamilah ya tak berpengaruh apa-apa. Hanya lumayan, sudah ada minat koleksi kitab, bukan koleksi yang lain.
Kita doakan semoga penggagas dan semua eleman yang terlibat dalam kemunculan Maktabah Syamilah, diberi pahala yang tak akan ada habisnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amin
Hanya saja, tiap hal biasanya ada plus-minusnya. Ada satu hal yang mengganjal saat membaca kitabnya Syeikh Ibnu Abdil Hadi; as-Sharim al-Mankiy tadi di dalam Maktabah Syamilah. Terutama yang di-tahqiq oleh Aqil bin Muhammad al-Muqthiri al-Yamani dan diteliti ulang oleh Syeikh Muqbin bin Hadi al-Wadi’i.
Kata [قبر] diganti redaksinya. Huruf ra’-nya diganti dengan huruf lam, maka menjadi [قبل]. Sebagai contoh: [قبر النبي] menjadi [قبل النبي], yaitu dalam kalimat [باب زيارة قبل النبي صلى الله عليه وسلم]. Tentu maknanya sangat beda, dari “Qabrun” jadi “qibala” atau “qabla” atau “qubula”.
Pada awalnya sempat berpikiran, mungkin hanya salah ketik saja. Hanya saja penggantian huruf ra’ menjadi lam itu terjadi di lima tempat berbeda.
Apakah itu hanya kebetulan? Atau oleh muhaqqiq-nya atau orang yang menulis ulangnya dianggap sebuah ‘pembetulan’? Kalaupun pembetulan, ya kalo bisa buat kitab baru saja, tidak nyoret-nyoret di kitab ulama dahulu.
Takutnya kalau nanti ketemu di akherat, penulis aslinya tak rela! Bisa dijewer ntar! “Hai, ngapain kau ganti-ganti huruf di kitabku?” Mungkin seperti itu. Waallahua’lam
Sumber : Hanif Luthfi
No comments:
Post a Comment