kirimanpublik
JAKARTA (wartamerdeka.info) - Sejumlah Kuasa Tergugat dalam perkara gugatan pengacara Alexius Tantrajaya, SH, MHum terhadap Presiden RI dan Sembilan Lembaga Negara, membatalkan penyerahan bukti kewenangan absolut kepada hakim majelis yang diketuai Muhammad Joenaidie, SH, MH.
Padahal pada sidang sepekan sebelumnya (10/9), Tergugat II (DPR RI), dan Tergugat VII sampai Tergugat X, menyatakan siap menyerahkan bukti kepada najelis hakim.
Dikarenakan bukti dimaksud tak diserahkan maka hakim ketua majelis menyatakan sidang berikut, pada hari Selasa (24/9), pembacaan putusan sela.
Mengomentari kondisi ini, Penggugat Alexius Tantrajaya mengatakan kepada wartawan di luar persidangan, Eksepsi kewenangan Absolut sesuai ketentuan pasal 134 HIR / 160 RBG adalah mengenai tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk mengadili perkara tersebut.
Karenanya tanpa di-Eksepsi pun hakim bila mengetahui perkara yang diperiksanya bukan menjadi kewenangannya, maka hakim berwenang menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara a quo, karena bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri untuk mengadilinya.
Contohnya misalnya menjadi kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara / Pengadilan Agama, jadi tanpa Eksepsi dan bukti dari Tergugat pun, hakim berwenang memutuskan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Namun dalam perkara ini semua Eksepsi kewenangan Absolut yang diajukan oleh Tergugat bukanlah dimaksudkan pasal 134 HIR /160 RBG, karenanya Penggugat berkeyakinan majelis hakim pasti akan menolaknya, namun bagi Penggugat Eksepsi ini merugikan karena penyelesaian perkara ini menjadi berlarut yang akan berakibat perkara pokok mengenai Laporan Polisi No.Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8 Agustus 2008 tersebut menjadi semakin tidak jelas penyelesaiannya, yang justru akan merugikan klien yakni Pelapor / Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono dan anak anaknya untuk bisa mendapatkan Keadilan atas hak-hak hukumnya sebagai ahli waris dari suami dan ayah dari anak anaknya almarhum Denianto Wirawardhana, yang diambil oleh para Terlapor yakni saudara kandung almarhum Denianto Wirawardhana dengan cara memasukkan keterangan palsu dalam Akta waris yg dibuatnya dihadapkan Notaris Rohana Frieta, SH, dengan menyatakan bahwa semasa hidupnya almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah dan tidak pernah adopsi/ mengangkat anak.
Padahal almarhum Denianto Wirawardhana semasa hidupnya telah menikah 2 kali dan punya 3 Anak. Untuk itu sudah sepatutnya Tergugat I, Bapak Presiden R.I. memberikan perlindungan hukum kepada klien Penggugat atas hak-hak hukum nya, tanpa harus menunggu putusan majelis hakim dalam perkara a quo, tandas Alexius Tantrajaya menjelaskan.
Alasannya, ketika tahun 2008, Ny Maria melaporkan kasus pemalsuan Akta Waris ke Mabes Polri menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang dikuasai oleh keluarga kandung almarhum.
Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.
Laporan Polisi Ny Maria Magdalena No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8 Agustus 2018, di Bareskrim Mabes Polri, perihal dugaan keterangan palsu dengan terlapor Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.
Sehubungan dengan belum diprosesnya Laporan Polisi Ny Maria Magdalena di Bareskrim Mabes Polri itu, Alexius menyurati Presiden dan sembilan Lembaga Negara untuk memberi perlindungan hukum terhadap kliennya. Tapi permohonan Ny Maria Magdalena tak pernah sekalipun direspon para Tergugat.
Padahal Laporan Polisi Ny. Maria ini sudah berusia 11 tahun tapi tak diproses penyidik Bareskrim Polri atau terlapornya sampai sekarang masih berstatus Terlapor.
Alexius Tantrajaya mengatakan, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.
Para Tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” katanya menjelaskan isi pasal dimaksud.
Secara perundangan, lanjutnya, seharusnya para Tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Buktinya, surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para Tergugat, diabaikan selama rentan waktu 10 tahun lebih (sejak tahun 2008 silam).
“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih. Setelah itu, laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius Tantrajaya.
Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.
“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” pungkasnya. (dm)
Alexius Tantrajaya |
Padahal pada sidang sepekan sebelumnya (10/9), Tergugat II (DPR RI), dan Tergugat VII sampai Tergugat X, menyatakan siap menyerahkan bukti kepada najelis hakim.
Dikarenakan bukti dimaksud tak diserahkan maka hakim ketua majelis menyatakan sidang berikut, pada hari Selasa (24/9), pembacaan putusan sela.
Mengomentari kondisi ini, Penggugat Alexius Tantrajaya mengatakan kepada wartawan di luar persidangan, Eksepsi kewenangan Absolut sesuai ketentuan pasal 134 HIR / 160 RBG adalah mengenai tidak berwenangnya pengadilan negeri untuk mengadili perkara tersebut.
Karenanya tanpa di-Eksepsi pun hakim bila mengetahui perkara yang diperiksanya bukan menjadi kewenangannya, maka hakim berwenang menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara a quo, karena bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri untuk mengadilinya.
Contohnya misalnya menjadi kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara / Pengadilan Agama, jadi tanpa Eksepsi dan bukti dari Tergugat pun, hakim berwenang memutuskan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Namun dalam perkara ini semua Eksepsi kewenangan Absolut yang diajukan oleh Tergugat bukanlah dimaksudkan pasal 134 HIR /160 RBG, karenanya Penggugat berkeyakinan majelis hakim pasti akan menolaknya, namun bagi Penggugat Eksepsi ini merugikan karena penyelesaian perkara ini menjadi berlarut yang akan berakibat perkara pokok mengenai Laporan Polisi No.Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8 Agustus 2008 tersebut menjadi semakin tidak jelas penyelesaiannya, yang justru akan merugikan klien yakni Pelapor / Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono dan anak anaknya untuk bisa mendapatkan Keadilan atas hak-hak hukumnya sebagai ahli waris dari suami dan ayah dari anak anaknya almarhum Denianto Wirawardhana, yang diambil oleh para Terlapor yakni saudara kandung almarhum Denianto Wirawardhana dengan cara memasukkan keterangan palsu dalam Akta waris yg dibuatnya dihadapkan Notaris Rohana Frieta, SH, dengan menyatakan bahwa semasa hidupnya almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah dan tidak pernah adopsi/ mengangkat anak.
Padahal almarhum Denianto Wirawardhana semasa hidupnya telah menikah 2 kali dan punya 3 Anak. Untuk itu sudah sepatutnya Tergugat I, Bapak Presiden R.I. memberikan perlindungan hukum kepada klien Penggugat atas hak-hak hukum nya, tanpa harus menunggu putusan majelis hakim dalam perkara a quo, tandas Alexius Tantrajaya menjelaskan.
Alasannya, ketika tahun 2008, Ny Maria melaporkan kasus pemalsuan Akta Waris ke Mabes Polri menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang dikuasai oleh keluarga kandung almarhum.
Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.
Laporan Polisi Ny Maria Magdalena No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8 Agustus 2018, di Bareskrim Mabes Polri, perihal dugaan keterangan palsu dengan terlapor Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.
Sehubungan dengan belum diprosesnya Laporan Polisi Ny Maria Magdalena di Bareskrim Mabes Polri itu, Alexius menyurati Presiden dan sembilan Lembaga Negara untuk memberi perlindungan hukum terhadap kliennya. Tapi permohonan Ny Maria Magdalena tak pernah sekalipun direspon para Tergugat.
Padahal Laporan Polisi Ny. Maria ini sudah berusia 11 tahun tapi tak diproses penyidik Bareskrim Polri atau terlapornya sampai sekarang masih berstatus Terlapor.
Alexius Tantrajaya mengatakan, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.
Para Tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” katanya menjelaskan isi pasal dimaksud.
Secara perundangan, lanjutnya, seharusnya para Tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Buktinya, surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para Tergugat, diabaikan selama rentan waktu 10 tahun lebih (sejak tahun 2008 silam).
“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih. Setelah itu, laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius Tantrajaya.
Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.
“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” pungkasnya. (dm)
No comments:
Post a Comment