kirimanpublikSemua bisa kita raih, selama kita mau berjuang. Kesuksesan kita dapatkan dengan kerja keras dan do'a. Di dalam sebuah bangunan bertingkat dua, Pono terlihat asyik bermain bersama teman sebayanya. Canda tawa terdengar hingga ke pekarangan bangunan yang juga merupakan tempat Pono dan temannya mengenyam pendidikan.
Pono merupakan salah satu murid di Community Learning Center (CLC) Kundasang, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. CLC Kundasang merupakan salah satu sekolah yang didirikan Pemerintah Indonesia untuk anak-anak Indonesia yang ada di Sabah, Malaysia.
Pono saat ini berusia 14 tahun. Dia duduk di bangku kelas III SMP. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tak pula terlalu pendek. Warna kulitnya kuning langsat seperti orang Indonesia kebanyakan. Namun, yang membedakan ialah otaknya yang "encer" dibanding anak seusianya.
Di CLC Kundasang, Pono terkenal cerdas. Matematika merupakan mata pelajaran favoritnya. Guru-guru yang mengajar di CLC Kundasang mengakui bahwa Pono merupakan anak yang cerdas. Bahkan, tak jarang Pono diminta menjelaskan kepada murid lain terkait pelajaran matematika yang tengah diajarkan.
"Saya suka matematika karena ilmu pasti," ujar Pono saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (4/12/2016).
Kecerdasannya semakin terlihat saat menjuarai Olimpiade Matematika yang diadakan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur. Olimpiade Matematika itu mengikutsertakan semua sekolah Indonesia yang ada di Malaysia dan Singapura.
Puluhan anak bersaing untuk menang, tak terkecuali Pono yang berasal dari CLC terpencil yang terletak di bawah kaki Gunung Kinabalu. Pono menjuarai Olimpiade dengan mengalahkan anak-anak dari sekolah Indonesia yang lebih terkenal, lebih mapan, serta memiliki fasilitas belajar yang lebih mencukupi dibanding sekolah Pono.
Pono merupakan anak dari seorang guru lokal bernama Marten dan ibu bernama Tabita. Keluarga Pono telah tinggal di Kundasang selama puluhan tahun. Pono memiliki tujuh saudara.
Adapun Pono lahir di Kundasang. Tempat tinggal Pono berada di kaki Gunung Kinabalu. Rumahnya berbahan kayu dan seng sebagai atapnya.
Sehari-hari, Pono pergi sekolah dengan menyewa mobil dengan biaya sekitar 35 ringgit Malaysia per bulannya. Pono lebih dulu harus berjalan sekitar 20 menit untuk menjangkau mobil sewaan yang setiap hari telah menunggu di jalan raya.
Untuk membiayai hidup, keluarga Pono menggantungkan pengharapan dari berkebun. Sayuran kol dan daun sop jadi tanaman pokok yang harus dijual untuk mengisi perut.
Setiap Jumat atau hari pekan, sekolah memang diliburkan karena mayoritas siswa membantu orangtuanya berjualan sayur. Tak terkecuali Pono yang dengan giat membantu ibunya mengangkut sayur.
Sebelum berangkat sekolah, kegiatan yang dilakukan Pono setiap pagi adalah membantu ibunya berkebun. Menanam bibit kol jadi kesehariannya setiap pagi. Bahkan, setelah Pono pulang sekolah, cangkul menjadi "pengganti pensil" di kebun.
Meski rajin membantu orangtuanya berkebun, Pono tetap menyempatkan diri untuk belajar. Tak jarang, guru CLC Kundasang jadi "sasaran" Pono yang lapar akan ilmu pengetahuan.
Pono datang ke rumah guru dan bisa berjam-jam belajar. Semua hal ditanyakannya kepada sang guru. Pono mengaku tak suka olahraga. Malah, ketika waktu senggang, Pono lebih suka mengutak-atik komputer. Aplikasi editing Photosop menjadi hobi barunya.
"Biasa edit-edit foto, yang ngajar dari UMS KKN. Saya kembangkan melalui Google dan tutorial," ujar Pono.
Orangtua menjadi motivasi Pono untuk terus belajar. Pono terus mengingat pesan kedua orangtuanya untuk bekerja keras agar mengubah kehidupan keluarganya.
"Mereka (orangtua katakan) enggak mau kami (Pono dan saudaranya) seperti mereka. Mereka bilang harus belajar sungguh-sungguh," ujar Pono.
Pono menyampaikan keinginannya menjadi seorang juru terbang atau pilot. Alasan Pono sederhana, ingin bertualang untuk mengelilingi dunia.
Pono baru sekali mengunjungi Indonesia. Di dalam lubuk hati terdalam, Pono ingin kembali pulang ke Tanah Air, ke kampung halamannya.
"Ingin melihat negeri sendiri," kata Pono.
Ibu Pono, Tabita, mengaku bangga ketika Pono menjadi juara Olimpiade Matematika. Tabita mengaku tak bisa memberikan apa-apa, kecuali motivasi agar Pono dan saudara-saudaranya bekerja keras untuk bertahan hidup.
Meski memiliki pendidikan rendah, Tabita tak mau Pono dan saudaranya bernasib sama seperti dirinya. Pono memiliki tujuh saudara. Dua orang telah mengenyam bangku kuliah, sisanya berada di bangku SMK, SMP, SD dan TK. Semua biaya pendidikan ditanggung dengan hasil kebun di ladang.
"Semuanya harus sekolah," ujar Tabita.
sumber:kompas.com
Pono merupakan salah satu murid di Community Learning Center (CLC) Kundasang, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. CLC Kundasang merupakan salah satu sekolah yang didirikan Pemerintah Indonesia untuk anak-anak Indonesia yang ada di Sabah, Malaysia.
Pono saat ini berusia 14 tahun. Dia duduk di bangku kelas III SMP. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tak pula terlalu pendek. Warna kulitnya kuning langsat seperti orang Indonesia kebanyakan. Namun, yang membedakan ialah otaknya yang "encer" dibanding anak seusianya.
Di CLC Kundasang, Pono terkenal cerdas. Matematika merupakan mata pelajaran favoritnya. Guru-guru yang mengajar di CLC Kundasang mengakui bahwa Pono merupakan anak yang cerdas. Bahkan, tak jarang Pono diminta menjelaskan kepada murid lain terkait pelajaran matematika yang tengah diajarkan.
"Saya suka matematika karena ilmu pasti," ujar Pono saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (4/12/2016).
Kecerdasannya semakin terlihat saat menjuarai Olimpiade Matematika yang diadakan oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur. Olimpiade Matematika itu mengikutsertakan semua sekolah Indonesia yang ada di Malaysia dan Singapura.
Puluhan anak bersaing untuk menang, tak terkecuali Pono yang berasal dari CLC terpencil yang terletak di bawah kaki Gunung Kinabalu. Pono menjuarai Olimpiade dengan mengalahkan anak-anak dari sekolah Indonesia yang lebih terkenal, lebih mapan, serta memiliki fasilitas belajar yang lebih mencukupi dibanding sekolah Pono.
Pono merupakan anak dari seorang guru lokal bernama Marten dan ibu bernama Tabita. Keluarga Pono telah tinggal di Kundasang selama puluhan tahun. Pono memiliki tujuh saudara.
Adapun Pono lahir di Kundasang. Tempat tinggal Pono berada di kaki Gunung Kinabalu. Rumahnya berbahan kayu dan seng sebagai atapnya.
Sehari-hari, Pono pergi sekolah dengan menyewa mobil dengan biaya sekitar 35 ringgit Malaysia per bulannya. Pono lebih dulu harus berjalan sekitar 20 menit untuk menjangkau mobil sewaan yang setiap hari telah menunggu di jalan raya.
Untuk membiayai hidup, keluarga Pono menggantungkan pengharapan dari berkebun. Sayuran kol dan daun sop jadi tanaman pokok yang harus dijual untuk mengisi perut.
Setiap Jumat atau hari pekan, sekolah memang diliburkan karena mayoritas siswa membantu orangtuanya berjualan sayur. Tak terkecuali Pono yang dengan giat membantu ibunya mengangkut sayur.
Sebelum berangkat sekolah, kegiatan yang dilakukan Pono setiap pagi adalah membantu ibunya berkebun. Menanam bibit kol jadi kesehariannya setiap pagi. Bahkan, setelah Pono pulang sekolah, cangkul menjadi "pengganti pensil" di kebun.
Meski rajin membantu orangtuanya berkebun, Pono tetap menyempatkan diri untuk belajar. Tak jarang, guru CLC Kundasang jadi "sasaran" Pono yang lapar akan ilmu pengetahuan.
Pono datang ke rumah guru dan bisa berjam-jam belajar. Semua hal ditanyakannya kepada sang guru. Pono mengaku tak suka olahraga. Malah, ketika waktu senggang, Pono lebih suka mengutak-atik komputer. Aplikasi editing Photosop menjadi hobi barunya.
"Biasa edit-edit foto, yang ngajar dari UMS KKN. Saya kembangkan melalui Google dan tutorial," ujar Pono.
Orangtua menjadi motivasi Pono untuk terus belajar. Pono terus mengingat pesan kedua orangtuanya untuk bekerja keras agar mengubah kehidupan keluarganya.
"Mereka (orangtua katakan) enggak mau kami (Pono dan saudaranya) seperti mereka. Mereka bilang harus belajar sungguh-sungguh," ujar Pono.
Pono menyampaikan keinginannya menjadi seorang juru terbang atau pilot. Alasan Pono sederhana, ingin bertualang untuk mengelilingi dunia.
Pono baru sekali mengunjungi Indonesia. Di dalam lubuk hati terdalam, Pono ingin kembali pulang ke Tanah Air, ke kampung halamannya.
"Ingin melihat negeri sendiri," kata Pono.
Ibu Pono, Tabita, mengaku bangga ketika Pono menjadi juara Olimpiade Matematika. Tabita mengaku tak bisa memberikan apa-apa, kecuali motivasi agar Pono dan saudara-saudaranya bekerja keras untuk bertahan hidup.
Meski memiliki pendidikan rendah, Tabita tak mau Pono dan saudaranya bernasib sama seperti dirinya. Pono memiliki tujuh saudara. Dua orang telah mengenyam bangku kuliah, sisanya berada di bangku SMK, SMP, SD dan TK. Semua biaya pendidikan ditanggung dengan hasil kebun di ladang.
"Semuanya harus sekolah," ujar Tabita.
sumber:kompas.com
No comments:
Post a Comment