kirimanpublik
"Amal manusia itu tergantung kepada niatnya, dan manusia akan mendapat apa yang ia niatkan". Hadits ini disepakati kesahihannya bahwa benar-benar bersambung kepada Nabi s.a.w., dan dari hadits ini juga ulama menyimpulkan banyak hal.
Ulama mengatakan dari hadits ini, Nabi s.a.w. memposisikan niat sebagai instrument penting dalam setiap amal orang muslim. Niat bukan hanya pelengkap lisan, atau juga dekorasi bibir, tapi punya posisinya yang sangat menentukan;
Secara automatically orang berfikir bahwa untuk mendapatkan pahala, pekerjaan itu juga harus diniatkan sebagai ibadah, dan kalau mau dapat pahala zuhur, maka berniat untuk shalat zuhur; karena seseorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Dalam bahasa " ushul-Fiqh"-nya, ulama menyebut dengan istilah dalalat-Tanbih atau dalalat-al-Iqtidha'. Secara sederhana maksud istilah itu bahwa otak akan berfikir kepada itu secara otomatis.
Nah, dari hadits ini juga kemudian ulama menjelaskan bahwa niat itu punya 2 fungsi (wadzifah); pertama; "Membedakan antara ibadah dan kebiasaan", kedua; "membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain". Ini yang dijelaskan secara rinci oleh Imam al-Suyuthi dalam al-Asybah wa An-Nadzoir, pada bab Qaidah "al-Umuru bi-Maqashidiha".
Fungsi pertama: Membedakan antara ibadah dan kebiasaan.
Kita punya kebiasaan yang teknisnya mirip sekali dengan ibadah yang memang sudah disyariatkan agama ini. Maka agar pekerjaan itu tidak dinilai sebagai kebiasaan semata yang tidak ada nilai pahalanya, niatkan itu sebagai ibadah. Contohnya;
"Ngadem" di masjid, itu kebiasaan banyak orang, siapapun melakukannya, dari mulai mahasiswa yang mau ngaji, sampai supir taksi, juga jomblo yang tak henti memikirkan calon pujahaan hati. Tapi "ngadem" di masjid tidak berarti apa-apa kalau tidak diniatkan diawal untuk beri'tikaf di masjid.
Begitu juga, mandi pagi di hari Jumat. Itu kebiasaan semua orang. Tapi kalau tidak diniatkan sebagai ibadah sunnah mandi Jum'at, ya bersihnya dapat, bau badan hilang, juga dapat kesegaran, tapi sayang pahala tak mampu diraih karena niat yang terlewati. Atau juga sikat gigi setelah bangun tidur. Itu kebiasaan, tapi di lain sisi itu juga kesunahan yang dianjurkan oleh Nabi s.a.w., mengerjakannya bisa dapat pahala, jika sejak awal diniatkan untuk beribadah mengikuti sunnah Nabi s.a.w.
Fungsi kedua; Membedakan antara ibadah dengan ibadah yang lain yang punya teknis mirip.
Misalnya seseorang masuk masjid di subuh hari; ia shalat 2 rakaat, kemudian shalat lagi 2 rakaat, dan selanjutnya 2 rakaat lagi. 2 rakaat pertama sebagai tahiyatul masjid, 2 rakaat kedua sebagai qabliyah subuh dan 2 rakaat terakhir sebagai shalat subuh. Semua sama, lalu apa yang membedakan dan akhirnya pahala masing-masing ibadah tercapai serta gugur kewajibannya? Niat yang menjadi pembeda.
Ini yang kemudian ulama menyepakati adanya "ta'yin" (spesifik i.e tertentu) dalam niat ibadah. Karena wajar sekali jika ada redaksi niat "ushalli fardha ..... dst". Ini ada untuk memenuhi syarat ta'yin tersebut.
Ushalli (saya niat shalat)
Fardha, disebutkan karena memang shalat ada yang fardh ada juga yang sunnah.
Ushalli fardha Zuhri, jenis shalat disebutkan karena memang shalat fardhu itu ada 5 jenisnya, maka ditentukan fardhu yang mana?Setelahnya ada "arba'ah rokaatin", untuk membedakan antara zuhur yang 2 rokaat, bagi musafir, dan yang sempurna bagi muslim. Setelah itu juga ditentukan, Imaman atau Ma'muman; syarat berjamaah itu si makmum harus berniat jadi makmum. Setelah Ada'an atau Qadha'an; apakah shalat itu di waktunya atau di luar waktunya? Harus juga ditentukan.
Kita tidak berbicara apakah harus dilafadzkan atau tidak? Itu sudah selesai saya bahasa sekian tahun lalu. Aslinya niat itu di hati, tapi jika sulit hati meniatkan, maka bantu dengan mulut. Dan ulama 4 madzhab sunni muktamad tidak ada yang menyalahkan pelafadzan niat, memakruhkan iya. Tapi tidak menyalahkan apalagi sampai membidahkan. Tapi tetap, niat itu di hati. Dan ulama mengajarkan kita tentang niat ibadah yang mana harus ta'yin. Maka itu ulama mengajarkan ini.
Nah. Begitu juga tentunya dalam redaksi niat puasa, khususnya Ramadhan dalam hal ini. Harus ta'yin juga, di sampingnya memang syarat niat puasa Ramadhan bukan hanya ta'yin, tapi juga ada 3 syarat lain; "Jazm" (yakin), "Tabyit" (dilakukan malam harinya), dan "Tajdid" (re-new i.e terbaharui setiap hari).
Nawaitu shauma ghodin (Saya niat puasa untuk esok), 'an Adai Fardh (guna menjalankan kewajiban) jelas ini untuk membedakan antara puasa wajib dan sunnah. Ramadhan disebutkan karena puasa wajib bukan hanya Ramadhan, ada 3 lainnya; Qadha' Ramadhan, Puasa Nadzar, juga Puasa Kafarat, itu semua wajib, maka harus tentukan puasa wajib mana yang ingin dilakukan. Hadzihi al-Sanah (tahun ini) juga membedakan antara Ramadhan dari tahun ke tahun.
Redaksi niat puasa di atas yang saya jelaskan dan itu banyak dilakukan oleh orang-orang itu bukan kewajiban. Bukan. Sama sekali bukan. Tidak harus berniat seperti itu dengan redaksi yang begitu. Dengan redaksi dan bahasa apapun silahkan, tapi tetap ada keharusan ta'yin (spesifik). Dengan bahasa apapun boleh saja. Ulama-ulama syafiiyah yang menuliskan redaksi itu pun tidak mewajibkan. Hanya saja mereka punya kewajiban mengajarkan, bahwa niat itu harus ta'yin (spesifik), bentuk ta'yin yang bagaimana, dan apa yang harus di-ta'yin? Nah itu jawaban yang dijelaskan oleh ulama.
Mudah-mudahan penjelasan di atas bisa menjadi upaya untuk meminimalisir perdebatan yang mungkin terjadi karena masalah niat ini. Agar Ramadhan makin khusyu', perbanyak ilmu agar tidak mudah berseteru, jangan gampang menyalahkan padahal kebenaran yang ada pada kita juga belum tentu.
Wallahu a'lam
Sumber : Ahmad Zarkasih
No comments:
Post a Comment